Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-74 diperingati hari ini, Rabu, 1 Juli 2020. Sejarah penamaan Hari Bhayangkara sendiri berasal dari nama pasukan elite yang pernah dipimpin Mahapatih Gajah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit di abad ke-14 Masehi. Tanggal 1 Juli 2020 ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara oleh seluruh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Sejarah Hari Bhayangkara Istilah Bhayangkara pada akhirnya melekat dengan institusi Polri seiring berlakunya Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946 yang diteken Presiden Sukarno.
Sebelumnya, kepolisian dinaungi Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara dan hanya bertanggung jawab atas masalah administrasi, sedangkan untuk masalah operasional berada di bawah wewenang jaksa agung. Setelah Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946 diterapkan, dikutip dari buku Perkembangan Kepolisian di Indonesia (1952) karya M. Oudang, kepolisian bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri terhitung sejak 1 Juli 1946. Maka itu, setiap 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara oleh segenap elemen Polri.
Sebelum zaman Majapahit, istilah Bhayangkara sebenarnya sudah dikenal pada era Kerajaan Singasari, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Kertanegara yang dalam Kitab Negarakertagama disebut bertakhta sejak 1254 hingga 1292 Masehi. Namun, dalam riwayatnya nanti, Bhayangkara justru lekat dengan sosok Gajah Mada. Gajah Mada mengawali kariernya pada 1313 sebagai prajurit, kemudian ditunjuk sebagai bekel atau komandan Bhayangkara, pasukan elite pengawal raja. Di bawah komando Gajah Mada, Bhayangkara semakin kuat dan solid. Ia menanamkan empat prinsip yang disebut Catur Prasetya kepada para personel Bhayangkara. Dikutip dari Sejarah Kepolisian di Indonesia (1999) buku terbitan Polri, Catur Prasetya kemudian diadaptasi sebagai salah satu Landasan Kerja Kepolisian RI yang diresmikan pada tanggal 4 April 1961. Bunyi dari Catur Prasetya yang dirumuskan Gajah Mada itu antara lain:
- Satya Haprabu (setia kepada pemimpin negara),
- Hanyaken Musuh (mengenyahkan musuh-musuh negara),
- Gineung Pratidina (mempertahankan negara), dan
- Tan Satrisna (sepenuh hati dalam bertugas).
Gajah Mada yang memimpin kesatuan Bhayangkara beberapa kali berhasil mencegah ancaman dan upaya-upaya pemberontakan terhadap kekuasaan Majapahit, juga menjaga ketenteraman warga, demikian ditulis Purwadi dalam Sejarah Raja-Raja Jawa (2007). Menurut buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) yang ditulis Slamet Muljana, Gajah Mada bersama 15 orang prajurit Bhayangkara sukses mengamankan Raja Jayanegara dari pemberontakan yang dimotori salah seorang petinggi istana bernama Ra Kuti.
Setelah menumpas aksi pembangkangan Ra Kuti, Gajah Mada menyatakan berhenti sebagai komandan pasukan Bhayangkara. Namun, Jayanegara –putra Raden Wijaya yang melanjutkan takhta ayahnya sebagai penguasa Majapahit sejak 1309– kemudian justru mengangkatnya sebagai patih. Tahun 1328, Jayanegara ditemukan tewas di kamarnya. Konon, pelaku atau otak pembunuhan ini adalah Ra Tanca, tabib pribadi raja yang juga seorang komandan Bhayangkara, jabatan yang pernah diemban oleh Gajah Mada. Sementara itu, berdasarkan buku Jejak Nasionalisme Gajah Mada (2004), dituliskan bahwa Gajah Mada menangkap Ra Tanca, lantas dihukum mati. Sehingga, adik Jayanegara, Tribhuwana Tunggadewi (1328-1351), dinobatkan sebagai penguasa Majapahit selanjutnya.